KENAIKAN harga benang dan kain berbahan katun hingga seratus persen sejak Desember 2010 lalu, membuat para pelaku usaha industri tekstil dan produk te
04 Feb 2011
kstil cemas. Setelah mendapat kabar mengenai kegagalan panen kapas di negara-negara pengekspor bahari baku benang dan kain itu, sampai saat ini mereka belum mendapatkan kepastian kapan keadaan akan kembali normal. Padahal, puluhan ribu orang di Jawa Barat menggantungkan nasibnya kepada bisnis ini.
Ketua Asosiasi Perajin Sentra Kaos Suci Mamawi Munarman mengatakan, sudah lebih dari sebulan ini, harga bahan kaus katun naik dari Rp 60.000 menjadi Rp 120.000 per kilogram. Pria berkaca mata itu bahkan memilih untuk menggunakan istilah "ganti harga" ketimbang "kenaikan harga." Soalnya, selama dua puluh tahun menggeluti bisnis konfeksi ini, baru sekarang Marnawi menghadapi kenaikan harga yang begitu signifikan.
Selain harga yang tinggi, Marnawi juga menyebutkan bahwa Sahan kaus katun combet, cardet, dan double toiirf juga kini mulai langka di pasaran. Rata-rata produksi kaus di Sentra Kaos Suci mencapai 10.000 kaus per hari, yang membutuhkan 1-2 ton ba-han kaus katun. Namun dengan kelangkaan bahan baku serta kenaikan harga, sekitar 500 pengusaha kaus di Sentra Kaos Suci kini mengerem produksi hingga lima puluh persen. Soalnya, banyak konsumen yang mengurungkan niat membuat kaus karena hargajual kaus dari perajin naik. Akibatnya, lima puluh persen atau 5.000 pekerja dari sekitar 10.000 total pekerja yang dilibatkan dalam usaha ini, kini diperkirakan menganggur.
Beberapa waktu lalu Mamawi baru menerima kunjungan dari 40 panitia SEA Games 2011 Palembang. Rencananya, mereka akan meminta para perajin kaus Suci untuk memproduksi kostum tim nasional dan panitia. Sebagai perbandingan tahun 2008, saat mereka memproduksi kostum untuk atlet dan panitia PON diperlukan 20 ton bahan kaus katun. Kondisi sekarang tidak memungkinkan untuk mendapatkan bahan baku sebanyak itu.
""Paling bisa di bawah satu ton, itu pun melalui agen dan distributor di Pasar Baru dengan harga yang mahal tadi," ujarnya.
Menurut Marnawi, posisi industri TPT sangat penting dalam perekonomian Jawa Barat. Sentra kaus Suci saja mampu menghasilkan omzet Rp 40 miliar sebulan. Oleh karena itu, sudah seharusnya kalau pemerintah mulai mengembangkan industri TPT, bukan hanya di hilir, tetapi juga di hulu.
Hal serupa dirasakan para pelaku industri konfeksi rumahan di Kp. Panyirapan RT 2 RW 1, Desa Panyi-rapan, Kec. Soreang Kab. Bandung. Sudah hampir dua bulan terakhir, para perajin yang memproduksi baju Muslim, seragam sekolah, serta berbagai produk tekstil lainnya di sana mengeluhkan harga benang dan kain katun yang naik.
Menurut salah seorang pengusaha konfeksi baju Muslim H. Yuyung Rusmana (54), harga benang yang asalnya Rp 9.000 per lusin, sejak dua bulan lalu naik menjadi Rp 12.500. Sementara harga kain katun yang menjadi bahan utama pembuatan baju Muslim juga naik dari Rp 9.250 per yard menjadi Rp 12.500.
Tang bikin repot bukan cuma harga naik, tetapi harga juga berubah-ubah terus. Seminggu bisa dua kali naiknya. Saya jadi bingung mau menetapkan harga," ujarnya.
Seperti Mamawi, Yuyung yang biasa berbelanja ba-han baku di Pasar Baru Bandung, .Jln. Kebonjati, Jln. Dulatip, serta Jln. Tamim mendapatkan jawaban bahwa kenaikan harga kain karena panen kapas mengalami kegagalan di Cina dan India. Dia mengakui, kenaikan harga bahan poliester memang lebih kecil, yaitu sekitar Rp 1.000 dan harga cenderung stabil. Akan tetapi, konsumen tidak menyukai bahan tersebut karena panas.
Dampak kenaikan harga kain katun ini sempat membuat kegiatan para perajin konfeksi di Kp. Panyirapan terhenti selama sebulan. Baru pada Januari 2011 para perajin mulai melakukan kegiatan lagi karena sudah banyak permintaan. Dampak yang paling dirasakan Yuyung dari kenaikan harga kain katun ini adalah margin keuntungan yang berkurang hingga 20 persen. Biasanya, dari satu setel baju Muslim, Yuyung mengantongi keuntungan 40 persen dari harga jual. Namun sekarang, keuntungan yang didapat-kannya hanya 20 persen.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat Ade Sudradjat menjelaskan, kenaikan harga benang dan kain katun disebabkan oleh permintaan yang tinggi, sedangkan persediaan barang terbatas. Industri TPT Indonesia kini berebut bahan baku dengan negara-negara Asia Tenggara lain yang juga mengandalkan bahan baku impor dari Cina, India, Brasil, dan Amerika.
"Karena tidak ada stok bahan baku, kita jalan kalau ada bahan baku. Kalau enggak ada, ya berhenti. Dulu kan stok selalu ada, sekarang mau beli juga susah. Kalaupun ada, ya harganya harus berani," katanya.
Menurut Ade, produksi TPT di Jawa Barat kini sudah berkurang sebanyak 20 persen akibat kenaikan harga benang dan kain katun tersebut. Hingga Januari 2011, konsumen mungkin belum terlalu merasakan dampak kenaikan harga bahan baku katun ini. Dia memperkirakan, kenaikan harga di tingkat pengecer baru akan terasa para pertengahan tahun, saat harga kaus dan pakaian berbahan katun akan naik antara 30-60 persen.
Ade juga ragu kalau pasokan dan harga kain katun akan kembali normal dalam waktu dekat. Persediaan kapas untuk tahun ini sudah habis terjual. Pasokan dan harga bahan baku mungkin baru bisa kembali normal pada tahun depan.
"Ya kita menunggu saja dan berharap orang tidak berhenti belanja walaupun harga naik," ucapnya.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat Ferry Sofwan mengatakan, industri TPT menduduki posisi penting dalam perekonomian Jawa Barat. Dilihat dari nilai ekspornya pada 2010, industri TPT menempati posisi kedua setelah industri mesin pesawat, mekanik, dan perlengkapan elektronik, dengan porsi 24,23 persen senilai 4,6 miliar dolar AS. Ini tentunya berkaitan dengan fakta bahwa 60 persen industri TPT nusantara berada di Indonesia.
Ferry mengatakan, pemerintah, baik pusat maupun provinsi sudah memberikan berbagai stimulus untuk mengembangkan sekaligus melindungi industri TPT serta produk-produk yang dihasilkannya. Salah satunya lewat program restrukturisasi mesin dan perlengkapan produksi. Soal bahan baku, Ferry menyebutkan, beberapa tahun lalu pemerintah sempat menggulirkan program kapas organik di Jawa Barat. Akan tetapi, karena berbagai alasan, program itu tidak diteruskan.
Lagi pula, tanah dan iklim di Jawa Barat tidak memungkinkan untuk menjadi perkebunan kapas. Kebutuhan bahan baku katun untuk industri TPT di Jawa Barat pun mencapai 1 juta ton per bulan. Produksi kapas dalam negeri bahkan tidak mampu memenuhi 0,01 persen dari kebutuhan tersebut. Namun, Ferry mengingatkan, Jawa Barat merupakan penghasil bahan sintetis terbesar di Indonesia, bahkan dunia. Ini seharusnya merupakan jalan keluar dalam kelangkaan bahan baku katun saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar